Selasa, 09 Desember 2014

Seputar Tugu Muda - Konco-konco mungkin sudah banyak yang mengenal wayang kulit atau wayang orang, tapi bagaimana dengan wayang potehi? Salah satu budaya Tionghoa yang juga merupakan bagian dari kesenian di Semarang ini memang gaungnya tak semashur jenis-jenis wayang lainnya. Bahkan sebagian dari kita ada yang sama sekali tidak mengetahui keberadaan dari wayang khas Tiongkok Selatan tersebut. Saat ini, Potehi telah menjadi salah satu kesenian tradisional Indonesia yang terancam punah karena minimnya pengetahuan serta kepedulian kita akan keragaman budaya sendiri.

Potehi berasal dari kata “Poo” yang berarti kain, “Tay” adalah kantong dan “Hie” bermakna wayang atau boneka, jadi Potehi dapat diartikan sebagai wayang boneka dari kain. Wayang ini kemudian oleh para perantau kelompok etnis Tionghoa dibawa ke berbagai wilayah Nusantara, salah satunya Semarang. Potehi pernah berkembang di masyarakat dan digunakan sebagai media hiburan, edukasi, syarat ritual, bahkan media kritik sosial. Meskipun di kemudian hari kesenian ini tidak dapat bernafas lebih panjang karena banyak alasan; dibelenggu rezim kala orde baru kemudian tergerus kesenian modern abad 20.

Wayang Potehi
Konon, Potehi diciptakan lima narapidana penjara kota Chuan Cu, Tiongkok, pada zaman dinasti Tsang Tian masa pemerintahan Raja Tioe Ong 3000 tahun silam. Mereka melakukan pertunjukkan di balik sel dengan perlengkapan seadanya untuk menghibur diri sebelum dieksekusi mati. Tak disangka pertunjukkan itu sampai ke telinga Sang Raja yang kemudian menantang mereka untuk melakukan pertunjukkan dihadapannya. Akhirnya dengan menggunakan karakter Sang Raja sebagai lakon dan meriwayatkan kebaikan-kebaikan raja, lima narapidana tersebut dapat terbebas dari eksekusi mati. Sekarang Potehi dimainkan dalam kotak berukuran 3x3 meter berwarna merah diiringi alat musik Toa Loo (gembreng besar), Siauw Loo (gembreng kecil), Hian Na (rebab), Thua Jwee (trompet), Bien Siauw (suling), Tong Ko (gendang) dan Piak Ko (kayu silindris sepanjang 5 cm). Lakon yang biasa dimainkan saat pertunjukan siang hari adalah Sie Bing Kwie (Kuda Wasiat) sedangkan Ngoho Peng See (Lima Harimau Sakti) di pertunjukan malam, ada juga lakon-lakon lainnya seperti Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak, Hong Kiam Cun Ciu.

Di Semarang sendiri pementasan Potehi biasa dilakukan klenteng di daerah Gang Lombok atau Pecinan. Di sini juga pernah terdapat satu dalang atau bunsu Potehi bernama Thio Tiong Gie (Teguh Chandra Irawan), seorang pria kelahiran Demak 9 Januari 1933. Asal mula Thio terjun sebagai dalang Potehi ketika Jepang menguasai Indonesia tahun 1942. Thio kecil harus putus sekolah dan hijrah ke Semarang setelah semua harta benda keluarganya dirampok. Karena sangat tertarik dengan kisah She Jin Kwee Cing Tse di buku cerita Tiongkok miliknya, Thio akhirnya sering menyambangi pagelaran Potehi. Thio mulai belajar mendalang setelah disarankan Oei Sing Twei, seorang dalang Potehi yang sering ditontonnya. Sejak saat itulah Thio Tiong Gie mulai tekun mendalang dan kemudian menjadi bunsu Potehi legendaris di Semarang –bahkan di Indonesia. 

Sayang usaha seniman, budayawan sekaligus sejarawan tersebut untuk menyebarkan ajaran-ajaran kebajikan lewat Potehi harus terhenti di usianya yang ke 81. Thio Tiong Gie tutup usia pada tanggal 20 Agustus 2014 akibat komplikasi diabetes. Sampai sekarang belum ada yang dapat meneruskan Potehi di Semarang selain Oei Tjiang Hwat, asistennya. Semoga di kemudian hari akan banyak muncul Thio Tiong Gie lainnya yang dapat melestarikan salah satu kesenian yang hampir hilang ini.
(Andika Sakti/STM/14)

Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar