Jumat, 09 Januari 2015

Seputar Tugu Muda - Jika kita mengamati, terlihat ada yang janggal dengan beberapa jembatan penyeberangan orang (JPO) yang berada di  sepanjang Jalan Pemuda. Ya, jembatan-jembatan yang biasa digunakan sebagai alat penyeberangan para pejalan kaki tersebut terlihat tanpa atap. Hal itu tentu saja membuat kenyamanan para penyeberang terganggu. Ketidaknyamanan tersebut menjadi semakin parah saat siang yang terik atau ketika hujan lebat turun. Alhasil salah satu fasilitas umum yang dimaksudkan untuk memudahkan para pejalan kaki itu menjadi jarang digunakan. Mereka cenderung lebih memilih melintasi jalan raya, padahal hal tersebut sangat rawan kecelakaan.

Sebenarnya dulu jembatan tersebut telah dilengkapi dengan atap twinlite, namun kemudian terjadi pembongkaran untuk beberapa kali. Sampai sekarang atap jembatan-jembatan tersebut tidak kembali dipasang. Alasan pembongkaran atap sendiri belum diketahui, kemungkinan karena pemasangannya yang tidak rapi pada sambungan atap. Semoga segera ada upaya penambahan atap di beberapa jembatan tersebut ya Konco-Konco, sehingga kita juga akan merasa nyaman ketika menggunakan jembatan penyeberangan itu. (Andika Sakti/STM/14)

Sumber foto: http://ardansirodjuddin.files.wordpress.com/2008/05/img_1392.jpg
Hotel Dibya Puri tampak depan
Seputar Tugu Muda - Apabila Konco-Konco melintas di Jalan Pemuda persimpangan Johar, maka konco-konco akan menjumpai puing-puing bangunan kuno di sisi kiri jalan yang masih terlihat begitu megah namun tampak tidak terawat. Di bangunan tersebut, terpampang dengan jelas tulisan Hotel Dibya Puri. Ya, bangunan megah yang kini hanya berupa puing-puing tersebut adalah hotel yang mewah dan berjaya di masanya. Hotel yang berdiri sejak tahun 1860 ini merupakan tempat menginap para pejabat dan bangsawan Belanda. Bung Karno dan anaknya pernah menginap di sini, juga Soeharto. Pada masa pemerintahan Soeharto, semua PNS yang bertugas di Semarang diwajibkan untuk menginap di hotel ini.

Atrium Hotel Dibya Puri

Hotel yang terbengkalai sejak tahun 2007 ini meninggalkan 49 kamar, 2 kamar family, 6 kamar puri suite, 17 kamar moderate, 9 kamar standart, 5 kamar ekonomi AC, dan 10 kamar ekonomi non AC. Pada saat memasukki bangunan utama di tengah, dapat didapati sebuah lukisan yang terbuat dari untaian-untaian kawat berwarna yang membentuk lukisan pemandangan alam sungai, hewan, dan manusia. Cahaya alami juga memasukki ruangan ini karena terdapat sebuah atrium seperti halnya bangunan-bangunan kuno lainnya. Di kanan dan kiri terdapat tangga yang megah dan artistik, penutup handrailnya terbuat dari ukir-ukiran kayu yang indah. Ubin yang digunakan sebagai lantai merupakan ubin kuno yang terdapat alat penjepit untuk karpet tangga. Ruang-ruang meeting-nya pun tak kalah megah, elemen kayu banyak menghiasi dindingnya. Sayang, kemewahan dan kemegahan ini luntur dimakan usia, menjadikan hotel ini sudah tak layak huni. Banyak bagian yang sudah rubuh, lantai di lantai 2 sudah miring karena konstruksi bangunannya melemah. Ada pula yang atapnya sudah hilang, konon karena terhempas angin kencang.

Apabila hotel ini dipugar kembali, maka dapat dibayangkan betapa tingginya nilai sejarah yang dapat dihadirkan. Hotel Dibya Puri sebenarnya merupakan salah satu asset berharga yang dimiliki Kota Semarang yang kaya akan bangunan-bangunan bersejarah dan sarat makna.
(Mario Siswanto/STM/14)