Senin, 08 Desember 2014

Seputar Tugu Muda - Beragam kesenian tradisi Nusantara dipamerkan dalam Jateng Art Festival pada Sabtu-Minggu (6-7/12). Melalui stand-stand serta panggung pagelaran seni, Jateng Art Fest berupaya untuk memperkenalkan kesenian-kesenian tradisi yang ada di Indonesia. Salah satu kesenian yang dipamerkan yaitu Tari Srikandi Mustakaweni. Tarian karya S. Mardi ini memiliki slogan "Wanita Perhiasan Dunia". Melalui gerakan, kostum, tata rias serta properti yang digunakan, Tarian Srikandi Mustakaweni hendak menggambarkan karakter wanita Jawa masa kini, yaitu jujur, berani, tegas, hati-hati, cerdas, berwibawa, cerdik, kuat, patuh, ulet, dan cekatan.

Para penari tari Srikandi
Tari Srikandi Mustakaweni gaya Surakarta adalah tari berpasangan yang diperankan oleh dua orang penari wanita, yaitu tokoh Srikandi dan tokoh Mustakaweni. Gerak tari Srikandi dan Mustakaweni yang tegas dan patah-patah bermakna bahwa wanita Jawa masa kini tidak hanya sebagai "konco wingking", tetapi juga harus tegas, pemberani, penuh semangat, berjuang pantang menyerah, maju, berwawasan luas, dan mandiri.

Dewi Srikandi ialah putri Prabu Drupada di Cempalareja yang yang menjadi istri Arjuna. Ia memiliki tabiat yang seperti laki-laki, yaitu menyukai peperangan sehingga disebut sebagai Putri Prajurit. Gerak tari Srikandi bervolume tegas, sorot mata lurus menghadap lawan, menggambarkan wanita Jawa yang pemberani dan waspada. Sedangkan Dewi Mustakaweni merupakan putri Prabu Bumiloka di negara Manimantika yang berparas cantik, cerdik, tegas, brangasan dan sakti. Sehingga gerak tari Mustakaweni yaitu tegas tapi endel (kemayu), dengan gerakan kepala patah-patah, tangan dan badan yang tegas bervolume patah-patah, serta pandangan yang jelalatan menggambarkan wanita Jawa yang penuh fikir, cerdik dan cerdas.

Dari segi kostum yang dikenakan oleh Srikandi, yaitu jarit lereng bermotif garis dan warna merah dimaknai sebagai tegas. Sedangkan kostum yang dikenakan oleh Mustakaweni yang berwarna hijau memiliki makna nyaman. Tata rias Srikandi dan Mustakaweni yang terkesan tegas menandakan wanita Jawa harus jelas dan tegas. Aksesoris berupa giwang, sumping, klat bahu, gelang dan kalung yang dikenakan oleh tokoh menggambarkan bahwa wanita Jawa harus memiliki daya traik. Selain itu, iringan musik gamelan yang terbuat dari besi dimaknai sebagai kuat dan tangguh.

Dengan segala kombinasi tersebut, maka tarian Srikandi Mustakaweni ini hendak menggambarkan kepribadian seorang wanita Jawa masa kini yang tegas, cerdas, penuh pertimbangan, memiliki wibawa serta daya tarik. (Nusrotu Aini Latifah/STM/14)
Seputar Tugu Muda - Konco-konco, siapa sih yang tak mengenal Tugu Muda? Ikon khas Kota Semarang ini selalu menjadi objek turis-turis yang datang ke Semarang, baik turis asing maupun domestik. Tidak hanya turis, bahkan warga Kota Semarang juga gemar mengunjunginya, terutama pada hari-hari libur seperti weekend dan tanggal merah. Maka tak heran jika di malam minggu Tugu yang menjadi monumen peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang ini tak pernah sepi.
Tugu Muda terlihat gagah dengan lampu berwarna-warni
Bukan menjadi pemandangan baru jika para wisatawan yang sedang melancong ke Semarang selalu menjadikan Tugu Muda sebagai objek berfoto, baik sendiri maupun foto bersama teman-teman ataupun keluarga. Menara Tugu Muda setinggi 53 meter ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Khususnya di malam hari, ketika lalu lalang kendaraan mulai berkurang, objek Tugu Muda akan nampak sangat megah dan gagah. 

Menara Tugu Muda dikelilingi oleh air mancur serta taman-taman hijau yang membuatnya terasa asri meski berada di tengah kawasan kota yang padat. Beberapa kursi juga disediakan bagi Konco-konco yang ingin menikmati suasana Tugu Muda di malam hari yang dikelilingi gemerlap lampu kota dan kendaraan yang lalu lalang. Kebersihan kawasan ini juga selalu terjaga. Tidak ada sampah-sampah yang terlihat berceceran di kawasan ini.
Seorang pengendara motor melewati kawasan tugu muda di malam hari
Pemerintah kota saat ini sedang mempercantik Menara Tugu Muda dengan mengganti lampu yang biasa dengan lampu yang mampu berubah-ubah warna sehingga membuat menara ini terlihat lebih unik dan cantik di malam hari. Jika berfoto di sini, tidak hanya Menara Tugu Muda yang menjadi latar, Konco-konco juga dapat mendapati Lawang Sewu yang berada di seberang Tugu Muda sebagai latar foto Anda. Menarik bukan? 
(Nusrotu Aini Latifah/STM/14)
Seputar Tugu Muda - Wisma Perdamaian, Sabtu-Minggu (6-7/12), menjadi ajang pameran 44 data tradisi Nusantara. Dengan nama Jateng Art Festival, pameran data yang diselenggarakan oleh Pascasarjana jurusan Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang tersebut mengusung tema "Konservasi Budaya, Merajut Keragaman".

"Yang kami pamerkan bukan data karya mahasiswa, tapi adalah data kesenian tradisi yang ada di Jawa Tengah. Itu untuk mengawali data tesis dari kami," ujar Sekar, selaku seksi acara Jateng Art Festival.
Beragam acara diselenggarakan selama dua hari, seperti Talkshow Seni Tradisi dan Ekonomi Kreatif, Workshop Kartun, Karikatur dan Animasi, Sarasehan Budaya, Lomba Menggambar Komik Strip Fabel, Pentas Seni dan Musik, serta Layar Tancap Film Indie. 

Salah satu kesenian yang dipentaskan dalam Jateng Art Festival
"Kita fokusnya di pameran data ini dan beberapa kegiatan. Tadi sudah ada opening, kemudian talkshow yang saya pandu, kemudian ada workshop karikatur dan animasi yang dibawakan oleh pak Abdullah dari Tabloid Cempaka dan Polotriuns, guru dari SMA Grafika. Lalu malamnya ada Sarasehan Budya," lanjut Sekar menerangkan.

Selain acara-acara utama tersebut, Jateng Art Festival menampilkan sejumlah pementasan seni sebagai pengisi acara. Diantaranya yaitu tarian Wonderful Indonesia yang mengkombinasikan kesenian dari tujuh daerah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Papua, Kalimantan, dan Aceh. Serta tari Sesonderan yang ditampilkan dari Sanggar Tari Kembang Semarang pada sabtu (6/12), serta Tarian Sufi Multikultural, Musik Kuriding dari Banjarmasin, Tari Srikandi Mustakaweni, dan masih banyak lagi. Acara ini merupakan acara yang sangat bagus dalam memperkaya wawasan masyarakat Semarang tentang betapa kayanya tradisi yang dimiliki Indonesia. 
(Nusrotu Aini Latifah/STM/14)